A. Pendahuluan
Bahasa adalah sebuah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh
masyarakat untuk tujuan komunikasi. Sifat arbitrer dalam bahasa ini menurut
Chaer (1989:32), dengan menggunakan istilah De Saussure, diartikan bahwa tidak
ada hubungan spesifik antara deretan fonem pembentuk kata dengan maknanya.
Dengan demikian, tidak ada hubungan langsung antara yang diartikan (signifie)
dengan yang mengartikan (signifiant).
Demikian juga menurut Lyon (1977:96), dengan meminjam istilah segitiga
semiotik, tidak ada hubungan langsung antara lambang (symbol) dengan
acuan (referent). Tidak ada alasan yang kuat mengapa konsep tertentu
harus dihubungkan dengan dengan lambang yang berwujud deretan bunyi atau
deretan huruf. Umpamanya tanda linguistik lisan yang dieja ”laptop,” tanda ini terdiri
dari unsur makna atau diartikan ’laptop’ dan unsur bunyi yang mengartikan dalam
wujud runtutan fonem [l, a, p, p, t, o, p], atau tanda linguistik tulisan
”laptop” yang terdiri dari unsur makna atau diartikan ’laptop’ dan unsur huruf
yang mengartikan dalam wujud runtutan huruf l, a, p, t, o, p, tanda ini ini
mengacu kepada suatu referen yang berada di luar bahasa, yaitu laptop sebagai
salah satu alat elektronik berjenis komputer, yang biasanya digunakan untuk
mengetik. Dengan demikian, kata laptop adalah hal yang menandai (tanda
linguistik) dan sebuah laptop sebagai alat elektronik (konsep) adalah hal yang
ditandai.
Kearbriteran makna membuat bahasa manusia menjadi kreatif. Manusia tidak
hanya mampu menciptakan kata-kata baru, mereka juga mampu memainkan sebuah
kata, atau frasa, atau kalimat untuk merujuk pada sebuah objek yang berbeda.
Seperti contoh kata ”virus,” yang berarti benda organik yang ukurannya sangat
kecil dan berbahaya bagi tubuh karena dapat menyebabkan manusia sakit, dengan
kekreatifitasan manusia yang ditunjang oleh kearbriteraran bahasa mereka, dapat
digunakan tidak hanya konteks sesuatu yang membahayakan manusia tetapi juga
dalam konteks sesuatu yang membahayakan program komputer.
Kemampuan memainkan bahasa ini makin terlihat jelas dewasa ini. Memasuki
dunia globalisasi yang di dalamnya terdapat banyak dinamika sosial, menyebabkan
manusia tanpa disengaja telah membangkitkan era komunikasi modern. Arus
informasi yang demikian kuatnya berhembus sebagai akibat dari diciptakannya
piranti-piranti pendukung komunikasi seperti surat kabar, radio, telpon
sesuler, televisi dan inernet, menyebabkan banyak pihak, utamanya kalangan
berpendidikan sangat mengandalkan bahasa sebagai mediator komunikasi antar
manusia. Dengan demikian, kemampuan komunikatif yang baik serta ketrampilan
dalam memanfaatkan bahasa, menjadi sangat penting artinya.
Media massa sebagai pelopor arus komunikasi ini berperan demikian dominan
dalam memimpin dan menginspirasi manusia untuk memanfaatkan bahasa. Banyak
sekali istilah-istilah, ungkapan-ungkapan, idiom-idiom, peribahasa baru digagas
dan dimunculkan oleh media massa. Masyarakat, sebagai konsumen dari media
tentunya tanpa pikir panjang akan menggunakan ”hal baru ini” karena mereka
berpikir, jika tidak melakukannya, mereka akan dicap sebagai orang yang
ketinggalan informasi. Dengan demikian, di era modern ini, media massa seakan
berperan sebagai ”pabrik” bahasa, dan ironisnya, entah ”produk pabrik” ini
berkualitas ataukah tidak, masyarakat tetap saja memakainya.
Jika dalam ilmu kesusastraan dan stilistika terdapat istilah Licentia
Poetica yaitu kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan
baik dari bentuk atau aturan konvensional bahasa untuk menghasilkan efek yang
dikehendakinya (Shaw, 1972), maka dalam dunia media informasi, media massa atau
tepatnya wartawan, memiliki apa yang disebut Licentia Coinage, yaitu
kebebasan seorang wartawan untuk menciptakan, atau mengalihkan makna dasar kata
sesuai selera untuk menghasilkan efek tertentu. Dengan bekal inilah media massa
membentuk dan ”menjajah” masyarakat melalui bahasa.
Pada satu sisi, keberadaan media massa sangat penting bagi masyarakat,
namun pada sisi lain, dengan adanya Licentia Coinage ini, distorsi
perkembangan bahasa, utamanya bahasa Indonesia mulai muncul. Penggunaan
kata-kata sarkasme atau sadis di media massa, berkurangnya penggunaan ungkapan
bernuansa kebajikan, memudarnya penggunaan ungkapan bernuansa budaya dan
lingkungan (Wahab, 2001), banyak dijumpai. Ini semua merupakan dampak dari Licentia
Coinage yang dimiliki wartawan. Terdapat juga banyak istilah-istilah, idiom
idiom yang tidak dipahami masyarakat. Akibatnya masyarakat cenderung memaknai
ungkapan-ungkapan baru tersebut secara literal sehingga akibatnya teks-teks
yang mengandung metafora tersebut dimaknai menyimpang. Problematika ini
tentunya merupakan masalah rumit sekaligus menarik untuk diungkap melalui
prspektif linguistik.
Sebagai sebuah produk dari peneltian linguistik, maka artikel ini mengulas
perubahan makna kata atau frase yang memiliki makna menyimpang sebagai produk
dari Licentia Coinage wartawan yang muncul dalam media massa.
C. Fakus dan Objek Kajian
Mengingat bahwa sebuah penelitian haruslah fokus dan mendalam, maka
penelitian yang telah peneliti laksanakan dibatasi oleh background peneliti,
durasi penelitian, serta kemampuan meneliti dalam menyediakan, menganalisis
serta menyajikan data. Background peneliti adalah linguistik dan durasi
penelitian ini adalah satu minggu. Dengan adanya bankground dan keterbatasan ini,
maka penelitian ini bertolak dari sudut pandang salah satu bidang ilmu
Linguistik yaitu Semantik, dengan berfokus pada variasi makna yang ada dalam
surat kabar. Dengan durasi waktu yang terbatas, maka kajian ditentukan dengan
mengambil Surat Kabar sebagai objeknya. Surat Kabar yang diteliti adalah harian
Suara Merdeka, Jawa Pos, Republika yang terbit pada hari Kamis, 22 April 2010.
D. Jenis dan Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan cara memerikan gejala
kebahasaan secara cermat dan teliti berdasarkan fakta-fakta yang sebenarnya
dengan tidak melibatkan angka. Adapun langkah-langkah penelitian dimulai dari:
(a) penyediaan data yang berbentuk penggalan dari artikel yang terdapat dalam
surat kabar Suara Merdeka, Jawa Pos, dan Republika yang terbit pada hari kams,
22 April 2010, (b) klasifikasi data dengan menggunakan teknik catat dan teknik
simak (c) analisis data dengan menggunakan konsep-konsep semantik seperti
metafora, metonomi, generalisasi, spesialisasi, litotes, sarkasme dan
ironi (d) penyajian hasil penelitian dalam bentuk paper.
E. Hasil dan Pembahasan
Dari hasil pengklasifikasian data dengan menggunakan teknik simak dan
catat, ditemukan beberapa petikan kalimat di surat kabar yang mengandung
variasi semantik (variasi makna). Adapun klasifikasi variasi makna dalam surat
kabar beserta analisisnya adalah sebagai berikut:
E.1. Metafora
Metafora disebutkan oleh Pradopo (1994:66) merupakan bentuk perbandingan
dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Ullman dalam
Sumarsono (2007) mendefinisikan metafora sebagai perbandingan rinkas (luluh,
lebur, menyatu) yang menggunakan intuisi dan tanda konkret
Gaya metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain.
Metafora sebagai pembanding langsung tidak menggunakan kata-kata seperti
dan lain-lain, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua.
Salah satu unsur yang dibandingkan, yaitu citra, memiliki sejumlah komponen
makna dan biasanya hanya satu dari komponen makna tersebut yang relevan dan
juga dimiliki oleh unsur kedua, yaitu topik.
Ulmann (dalam Sumarsono, 2007) dan Parera (2004:119) membedakan metafora ke
dalam empat jenis, yakni (1) metafora bercitra antropomorfik, (2) metafora
bercitra hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke konkret, (4) metafora bercitra
sinestesia atau pertukaran tanggapan/persepsi indra.
(a) Metafora Bercitra Antropomorfik
Metafora bercitra antropomorfik merupakan satu gejala semesta. Para pemakai
bahasa ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan apa yang terdapat pada
dirinya atau tubuh mereka sendiri. Metafora antropomorfik dalam banyak bahasa
dapat dicontohkan dengan mulut botol, jantung kota, bahu jalan, dan
lain-lain.
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metafora antropomorfik
yang ada di surat kabar adalah:
KONTEKS DENOTATIF
|
KONTEKS DALAM SURAT KABAR
|
1.a. Karena rajin berolahraga, badan si Anton terlihat kekar
|
1.b. Longsoran tanah menutupi badan jalan (artikel dengan judul (Hujan Deras, Pondasi Dua Rumah Longsor (Jawa Pos))
|
Dari data 1a dan 1b kita dapat melihat bahwa ada perubahan makna kata
badan, yang semula berarti bagian tubuh manusia (animate), mejadi bagian dari
jalan(inanimate). Penulis artikel dengan menulis kalimat ini berusaha
menyamakan manusia dengan jalan dengan menggunakan persamaan yaitu sama-sama
memiliki badan.
(b) Metafora Bercitra Hewan
Metafora bercitra hewan, biasanya digunakan oleh pemakai bahasa untuk
menggambarkan satu kondisi atau kenyataan di alam sesuai pengalaman pemakai
bahasa. Metafora dengan unsur binatang cenderung dikenakan pada tanaman,
misalnya kumis kucing, lidah buaya, kuping gajah. Dalam metafora
bercitra hewan diungkapkan oleh Parera (2004:120) bahwa manusia disamakan
dengan sejumlah takterbatas binatang misalnya dengan anjing, babi, kerbau,
singa, buaya, dst sehingga dalam bahasa Indonesia kita mengenal peribahasa
“Seperti kerbau dicocok hidung”, ungkapan “buaya darat”, dan ungkapan
makian ”anjing, lu”, dan seterusnya.
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metafora bercitra
hewan adalah:
KONTEKS DENOTATIF
|
KONTEKS DALAM SURAT KABAR
|
- 2.a.
Setiap pagi dan sore hari, petani di desa Sambiroto menggembalakan bebek-bebek mereka
|
2.b. Kita negara berdaulat. Untuk mengembangkan sawit atau komoditas apapun tidak bisa diatur-atur asing dan membebek mereka apalagi Cuma LSM (Lawan Kampanye Hitam Sawit (Republika))
|
Kata bebek pada data 2a merujuk pada sejenis unggas yang bertubuh tidak
terlalu besar, biasanya berbulu coklat, bisa berenang dan diternakkan oleh
petani. Sedang data 2b merujuk pada sebuah perbuatan yang menyerupai hewan
bebek. Ada perubahan makna disini. Bebek biasanya bergerombol, mudah diatur
karena jalannya kurang gesit, serta selalu mengikuti kemana langkah bebek
dewasa atau pemimpin kelompok bebek tersebut. Sifat ini dianggap bercitra
negatif karena menunjukkan kelemahan. Dengan menggunakan bebek yang lemah
sebagai pembanding, bangsa Indonesia dimetaforakan sebagai bangsa yang lemah
apabila mau saja diatur oleh bangsa asing
(c) Metafora Bercitra Konkret ke Abstrak
Metafora bercitra konkret ke abstrak, adalah mengalihkan ungkapan-ungkapan
yang abstrak ke ungkapan yang lebih konkret. Seringkali pengalihan ungkapan itu
masih bersifat transparan tetapi dalam beberapa kasus penelusuran etimologi
perlu dipertimbangkan untuk memenuhi metafora tertentu. Dicontohkan oleh
Parera, secepat kilat ‘satu kecepatan yang luar biasa’, moncong
senjata ‘ujung senjata’, dan lain-lain.
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metafora bercitra
abstrak ke konkret adalah:
KONTEKS DENOTATIF
|
KONTEKS DALAM SURAT KABAR
|
3.a. Ilustrasi buku itu sangat menarik sekali, sangat lucu dan penuh warna
|
3.b. Koruptor itu kan punya 3 kekuatan, diantaranya duit. Anggodo itu kan salah satu ilustrasinya, tandasya (Judul artikel: KPK salahkan SBY (Suara Merdeka))
|
Pada data 3a terdapat kata ilustrasi yang berarti gambar atau penjelas
untuk membantu memahami informasi yang disampaikan dalam buku. Makna ilustrasi
ini berubah ketika ilustrasi berada pada konteks 3b. Pada data 3b, terjadi
penyamaan benda konkret yaitu Anggodo dengan benda Abstrak yaitu ilustrasi
sehingga menyebabkan benda konkret Anggodo menjadi benda abstrak dalam konteks
tersebut. Metafora seperti inilah yan disebut metafora berciri abstrak ke
konkret
(d) Metafora Bercitra Sinestesia
Metafora bercitra sinestesia, merupakan salah satu tipe metafora
berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain.
Dalam ungkapan sehari-hari orang sering mendengar ungkapan “enak didengar”
untuk musik walaupun makna enak selalu dikatkan dengan indra rasa; “sedap
dipandang mata” merupakan pengalihan dari indra rasa ke indra lihat.
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metafora sinestesia
adalah:
KONTEKS DENOTATIF
|
KONTEKS DALAM SURAT KABAR
|
4.a. Taman itu dipenuhi oleh beraneka bunga yang baunya harum sekali
|
4.b. Nama Darwati begitu harum di tanah air (Mereka memanggilnya Latifah)
|
Pada data 4a dan 4b, terjadi perubahan makna kata harum. Pada data 4a, kata
harum mengacu kepada sebuah sifat bau positif yang hanya bisa dikenali oleh
indera penciuman. Pada 4b, terjadi penyimpangan makna dengan menyamakan nama
dengan bunga yang mengeluarkan bau haum. Nama tidak dapat dicium baunya,
sehingga muculnya kata harum setelah kata nama merupakan bahasa yang tidak
sebenarnya atau yang kita kenal sebagai bahasa figuratif. Sifat yang
dibandingkan adalah kedua entitas (bunga dan nama) dianggap memiliki sifat
positif yang sama yaitu dapat dirasakan dari jarak yang jauh, serta diskai oleh
banyak orang. Bau harum bunga dapat tercium dari tempat jauh. Demikian juga
nama seseorang yang berjasa pada bangsa akan dapat dikenal dari jarak yang jauh
juga.
E.2. Personifikasi
Personifikasi adalah perubahan makna yang disebabkan oleh pemakai bahasa
menyamakan benda (inanimate) dan hewan/tumbuhan (animate) dengan manusia.
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metafora personifikasi
adalah:
KONTEKS DENOTATIF
|
KONTEKS DALAM SURAT KABAR
|
5.a. Dengan kecepatan yang luar biasa, pendekar itu mengayunkan pedangnya untuk menebas batang bambu yang jatuh menimpanya
6.a. Karena dihujani tiap hari, rumput-rumput layu tersebut akhirnya segar kembali
|
5.b. Beberapa ranting pohon patah ditebas angin (Dari Tambling untuk Iklim Dunia (Republika))
6.b. Ribuan meteor Lyrids diperkirakan jatuh bertubi-tubi menghujani atmosfer bumi (Jawa Pos).
|
Pada data 5b dan 6b terdapat fenomena personifikasi dengan “menghidupkan”
angin dan meteor dan menyamakannya engan manusia. Pada data 5b, kata angin
digambarkan memiliki kemampuan seperti manusia yaitu melakukan kegiaan menebas.
Demkian juga pada data 6b, kata meteor diletakkan dalam posisi memiliki
kemampuan seperti manusia yaitu melakukan kegiatan menghijani sesuatu.
Penghidupan dan pentamaan benda mati diatas menjadi seperti manusia inlah yang
disebut personifikasi.
E.3. Metonimi
Kata metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti
menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Dengan demikian,
metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk
menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.
Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang
yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan
kulitnya, dan sebagainya.
Metonimia disebut oleh Keraf (1992:142) sebagai bagian dari sinekdoke.
Sinekdoke dibagi menjadi dua yaitu (1) pars pro toto dan totum pro
parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
(1) Metonimia Pars Pro Toto
Pars Pro Toto adalah pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan
objek. Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metonimi Pars
Pro Toto adalah:
KONTEKS DENOTATIF
|
KONTEKS DALAM SURAT KABAR
|
7.a. Paman Sam datang dari Amerika dan memberiku oleh-oleh sebuah laptop produksi IBM
|
7.b. Amerika Serikat berduka. Dorothy Irene Height, perintis gerakan Hak Asasi Manusia Negeri Paman Sam tutup usia. (Judul Artikel: Godmother Gerakan HAM Amerika Serikat (Jawa Pos))
|
Frasa Paman Sa pada data 7a secara denotatif dimaknai sebagai nama seorang
laki-laki dewasa. Namun ketika frasa Paman Sam digunakan pada konteks 7b,
maknanya berubah. Pada konteks ini, Paman Sam mengacu pada sebuah negara,
karena frasa Paman Sam adalah nama lain dari negara Amerika Serikat. Fenomena
ini yang disebut Pars Pro Toto, yaitu fenomena ketika dipakai
dalam konteks denotatif mengacu pada satu orang, namun ketika berada dalam
konteks bahasa figuratif, mengacu pada sebuah negara yang di dalamnya dihuni
jutaan orang.
(2) Totum Pro Parte:
Totum Pro Parte adalah pengungkapan keseluruhan objek padahal yang
dimaksud hanya sebagian. Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna
metonimi Totum Pro Parte adalah:
KONTEKS DENOTATIF
|
KONTEKS DALAM SURAT KABAR
|
8.a. Ada berita menggembirakan dalam dunia oomotif. Dua pabrik otomotif akan meluncurkan produk andalan mereka dengan pangsa pasar berbeda. Yamaha akan mengeluarkan produk sepeda motor matic baru dengan label Mio sedang Honda akan meluncurkan produk APV Xenia sebanyak 1000 unit di Indonesia
9.a. Rohaniawan di Negara Amerika Serikat resah mendapati sebuah hasil penelitian yang menyatakan bahwa dua pertiga rakyat Amerika Serikat atheis
|
8.b. Menurut Nano, seusai ditabrak Xenia, bus masih melaju dan akhirnya menabrak Mio (Judul artikel: Xenia Tabrak Bus, Dua Tewas (Suara Merdeka))
9.b. Amerika Serikat berduka. Dorothy Irene Height, perintis gerakan Hak Asasi Manusia Negeri Paman Sam tutup usia. (Judul Artikel: Godmother Gerakan HAM Amerika Serikat (Jawa Pos))
|
Data 8b dan 9b adalah kebalikan dari data 7b. Jika pada data 7b kata Paman
Sam mewakili seluruh masyarakat Amerika Serikat yang ini berarti kata khusus
digunakan dalam kontekls umum, maka pada 8b dan 9b kita melihat kata Xenia, Mio
dan Amerika Serikat merupakan kata umum yang digunakan dalam konteks khusus.
Kata Xenia dan Mio adalah sebuah produk dari sebuah pabrik otomotif. Tidak
jelas Xenia dan Mio yang mana karena bisa merujuk pada Xenia dan Mio yang mana
saja. Bisa berupa Xenia dan Mio produk keluaran lama, atau berwarna merah atau
yang dilengkapi dan jumlahnya satu atau banyak, atau seluruh Mio dan Xenia yang
ada di dunia, padahal yang terlibat dalam kecelakaan jelas hanya sebuah Mio dan
Xenia yang definit. Demikian juga pada data 9b, penulis menggunakan kata
Amerika Serikat berduka untuk menimbulkan efek tertentu. Padahal, yang
berkabung dalam konteks ini tidak semua warga Amerika Serikat. Hanya sebagian
saja yang mengalami perasaan tersebut.
E.4. Generalisasi
Generalisasi atau perluasan makna adalah proses perubahan makna kata dari
yang lebih khusus ke yang lebih umum (Suwardi, 2008)
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna generalisasi adalah:
KONTEKS DENOTATIF
|
KONTEKS DALAM SURAT KABAR
|
10.a. Sang raja menitahkan para punggawanya untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di daerah tapal batas
11.a. Meskipun Bali telah mengalami kemajuan yang pesat dalam kebudayaan, namun tetap saja fenomena perbedaan kasta dijumpai disana meskipun tidak banyak
12.a. Karirnya di dunia militer lumayan cemerlang. Tidak berapa lama, pangkat kapten telah diraihnya
13.a. Untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya, kaisar Cina membangun benteng besar dan panjang yang kemudian kita kenal sebagai Tembok Besar Cina
|
10.b. Punggawa Barcalona sangat gusar kepada Olegario Benquerenca (Keputusan Janggal Reduksi Peluang (Jawa Pos))
11.b. Karena ada kastanisasi yang berdasarkan pada kompetensi, biaya mahal RSBI itu wajar ujarnya (Kemendiknas Belum Atur Biaya RSBI (Jawa Pos))
12.b. Kapten Tim, Nikki Tiffany menjadi andalan mendulang poin (Dramatis (Jawa Pos))
13.b. Juara Spanyol itu gagal menembus ketatnya benteng pertahanan Inter yang dikawal Lucio (Siap Revans di Nou Camp (Jawa Pos))
|
Kata punggawa, kasta, kapten, dan benteng yang ada pada data10a, 11a, 12a,
13a sebenarnya adalah kata-kata yang bernuansa khas. Paunggawa dijaman dahulu
merujuk pada jabatan keprajuritan kerajaan. Kasta adalah terminologi bermuatan
budaya yang ada dalam agama Hindu yang mengacu pada pembagian kelas sosial
masyarakat. Kapten adalah pangkat dalam ketentaraan dan benteng adalah nama
tempat untuk bertahan dari serangan musuh. Namun, sejalan dengan perkembangan
jaman, makna kata-kata di atas berubah. Punggawa kiti tidak hanya dipakai dalam
kerajaan. Dalam permainan sepak bola juga dipakai untuk merujuk pada orang yang
memilik peran besar dalam sebuah tim sepak bola. Kata kasta yang sebelumnya
hanya digunakan oleh orang hindu, kini dipakai secara umum untuk merujuk pada
pembagian atau hirarki dalam kelompok dengan tidak melandaskan pembagian
tersebut pada agama dan budaya namun lebih kepada kemajuan atau perkembangan
sesuatu atau seseorang. Kata kapten yang semula dipakai dalam dunia militer,
kini dipakai secara umum untuk mengacu pada jabatan pemimpin. Benteng, tidak
lagi bermakna bangunan kokoh untuk berlindung dari serangan musuh, tapi leih
berorientasi pada aspek pertahanan saja dan bukan pada aspek gedung atau
bangunan.
E.5. Spesialisasi
Splesialisasi adalah proses perubahan makna dari yang lebih umum ke yang
khusus (Suwardi, 2008)
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna spesialisasi adalah:
KONTEKSDENOTATIF
|
KONTEKS DALAM SURAT KABAR
|
14.a. Dinasti Abbasiah tidak hanya dikenal karena kekuatan tentaranya, namun jaman ini dikenal karena telah sukses melahirkan sarjana-sarjana terkenal dalam banyak bidang ilmu
15.a. di jaman penjajahan Belanda dulu, pribumi yang bersekolah di madrasah-madrasah benar-benar diawasi agar tidak menjadi pemberontak dan menentang penjajahan
|
14.b. Tujuan visitasi tersebut menurut Humas Unisri Ikka Litnaniyah adala sebagai sebagai peningkat akreditasi dalam proram studi untuk program sarjana (FISIP Visitasi Program Studi (Suara Merdeka))
15.b. Yang tidak kurang pentingnya adalah perubahan kelembagaan pada tingkat madrasah aliyah (MA), baik di pesantren maupun bukan berbasis esantren
|
Kebalikan dari generalisasi, spsialisasi adalah proses penyempitan makna,
dari semula bermakna umum menjadi khas seperti yang dapat kita lihat pada data
14b dan 15b. Kata Sarjana pada data 14a yang bermakna cendikiawan dijaman dulu,
beralih makna menjadi lulusan perguruan tinggi. Demikian juga kata madrasah
pada 15a yang bermakna sekolah umum, mengalami penyempitan maknapada data 15b.
Makna trerkini dari madrasah adalah sekolah yang Islam.
E.6. Asosiasi
Kata asosiasi antara lain berarti tautan dalam ingatan pada orang atau
barang lain: pembentukan hubungan atau pertalian gagasan, ingatan, atau
kegiatan pancaindera (Suwandi, 2008)
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna asosiatif adalah:
KONTEKS DENOTATIF
|
KONTEKS DALAM SURAT KABAR
|
16.a. Bapak kemarin membelikan dik Umi boneka Lumba-lumba yang lucu dan berwarna merah muda
|
16.b. Pasalnya, ormas Islam itu jangan sampai dijadikan boneka kepentingan politik kekuasaan (Judul artikel: Din Syamsudin Siap Jadi Sasaran Tembak (Suara Merdeka))
|
Pada data 16a, kata boneka dimaknai secara denotatif sebagai sebuah mainan
anak-anak berwujud tiruan dari manusia atau hewan yang biasanya terbuat dari
bahan kain, plastik, atau busa. Ketika kata ini dipakai dalam kontek 16b, kata
boneka mengalami perubahan makna karena fenomena asosiasi, yaitu fenomena
penyamaan ormas Islam dengan boneka karena emliki karakter yang sama yaitu
dapat dimainkan sesuka hati.
E.7. Ameliorasi
Peninggian makna atau ameliorasi adalah proses perubahan makna yang
mengakibatkan makna baru dirasakan lebih tinggi, lebih hormat, atau lebih baik
nilainya daripada makna yang lama atau semula (Suwandi, 2008)
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna amelioratif adalah:
KONTEKS DENOTATIF
|
KONTEKS DALAM SURAT KABAR
|
17.a. Sidang perdata pak Anton dihakimi oleh Daniel Parera, M.H
|
17.b. Untoro (38) warga desa Glodogan, kecamatan Klaten Selatan babak belur dihakimi warga (Suara Merdeka))
|
Makna sebenarnya dari kata dihakimi pada 17b adalah adalah dihajar sampai
babak belur oleh masyarakat. Penulis artikel melakukan peninggian makna dengan
mengganti kata berkonotasi negatif dihajar sampai babak belur menjadi dihakimi
yang lebih bernuansa negatif seperti yang ada pada data 17a.
E.8. Peyorasi
Penurunan makna atau peyorasi adalah proses perubahan makna yang
mengakibatkan makna baru atau makna sekarang dirasakan lebih rendah, kurang
baik, kurang menyenangkan, atau kurang halus nilainya daripada makna semula
(lama) (Suwandi, 2008)
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna peyoratif adalah:
KONTEKS DENOTATIF
|
KONTEKS DALAM SURAT KABAR
|
18.a. Kera yang keluar dari kandangnya itu ahirnya berhasil diringkus oleh karyawan penjaga kebun binatang
19.a. Bu Hani sangat kesal dengan ulah anak didiknya. Di plototinya mereka satu persatu dan wajah anak-anak itupun tertunduk ketakutan.
20.a. Andi tidak dapat memejamkan matanya sedikitpun. Di hutan itu, ia merasa ketakutan mendengar suara hewan aneh yang berkoar-koar di malam hari
|
18.b. Kemarin polisi meringkus Amirul Yusuf Suharto (Judul artikel: Pencuri Berkas Pajak Tertangkap (Jawa Pos))
19.b. DKK plototi jajanan di sekolah (judul (Jawa Pos))
20.b. Anda akan melihat Messi sebenarnya” Koar Pep, sapaan Guardiola seperti dilansir dari goal
|
Dengan menggunakan kata meringkus pada 18b, penulis artikel ingin
menyamakan Amirul Yusuf Suharto dengan monyet pada data 18a. Kata netral yang
seharusnya dipakai adalah kata menangkap. Dengan dipilihnya kata meringkus dari
pada menagkap, penulis terlihat seakan menganggap Amirul seperti hewan buas dan
nakal yaitu monyet. Kata plototi pada data 19b juga berkonotasi negatif. Kata
netral yang seharusnya digunakan adalah melihat. Dengan menggunakan kata
meloto, penlis berusaha membangun makna bahwa kata melotot yang dilakukan oleh
Dinas Kebersihan dan Kesehatan adalah melihat dengan sungguh-sungguh. Demikian
juga pada data 20b, penulis membangu makna fguratif dengan menggunakan kata
Koar (yang biasanya ditujukan pada hewan) dan melekatkannya Guardiola
untuk menggantikan kata “berkata”
E.9. Variasi Makna Hasil Pungutan
Dalam variasi makna hasil pungutan, leksikon maupun nilai budaya yang
dikandung bukan asli Indonesia, melainkan leksikon yang sekaligus bernilai
buaya asing atau daerah.
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna hasil pungutan adalah:
KONTEKS DENOTATIF
|
KONTEKS DALAM SURAT KABAR
|
21.a. Hari ini benar-benar merupakan hari mujur bagi Paimin. Setiap kali senar pancingnya dilempar ke air, setiap kali itu pula umpannya dicaplok ikan
22.a. Komandan kompi memerintahkan anak buahnya mencopot segala atribut yang berhubungan dengan tanda pengenal kesatuannya.
23.a. Anak-anak Inggris itu belajar quick count di kelas matematika mereka
|
21.b. Ini akibat sikap pragmatisme dari partai yang tak mau memberikan kaderisasi sehingga main caplok saja (Judul artikel: Usulan Menagri Untungkan Birokrat (Suara Merdeka))
22.b. Poltak enggan berkomentar tentang pencopotan dirinya dari kursi Kejati Maluku (Jawa Pos))
23.b. Karena itulah muncul inisiatif membuat quick count di seluruh TPS Di kecamatan Jebres (Jebres Siapkan Quick Count (Jawa Pos))
|
Seperti yang terlihat pada data 21-23, terkihat banyak sekali perubahan
makna yang muncum akibat dipinjamkannya leksem dari bahasa lain seperti bahasa
daerah dan Inggris. Disini kita dapat melihat bahwa wartawan berusaha membangun
makna baru dengan cara meminjam beberapa leksem dari bahasa di luar bahasa
Indonesia.
E.10. Variasi Makna Kompleks
Variasi Makna Kompleks Terbentuk dari rangkaian perubahan makna. Seperti
contoh
KONTEKS DENOTATIF
|
KONTEKS DALAM SURAT KABAR
|
23.a. Untuk memeriahkan acara ulang tahun adik, ibu menghiasi rumah dengan balon warna warni
|
23.b. Sementara itu, kubu bakal calon (balon) ketua umum Andi Mallarangeng, akan menempatkan SBY dalam posisi hermanen (Pendukung Ingin Demokrat Jadi Partai Kader)
|
Pada data 23a, kata balon dimaknai sebagai benda bulat terbuat dari karet
berwarna warni yang didalamnya berisi udara. Kata ini mengalami perubahan mana
yang sangat menyimpang dari makna dasarnya, bukan karena proses penyamaan atau
asosiasi, tapi fenomena ini terjadi karena adanya proses akronimisasi (atau
tepatnya blending) dari kata balon. Kata balon pada 23b merupakan
fenomena proses blending dari dua satuan lingual yaitu kata bakal yang
dipotong bertasarkan silabus dan diambil suku pertamanya saja, serta kata
calon, yang diambil suku kata kedua dan membuang suku kata pertama. Proses yang
agak rumit ini karena selain melibatkan perubahan makna kata juga melibatkan
fenomena pembentukan kata baru yaitu blending, maka fenomena ini
kemudian disebut Variasi Makna Kompleks.
E.11. Variasi Makna karena Homonimi
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya
‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harfiah kata homonimi dapat
diartikan sebagi “nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik,
Verhaar (2008) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa
atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa
atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Hubungan antara dua buah kata yang
homonim bersifat dua arah.
Adapun contoh variasi makna karena Homonimi adalah sebagai berikut:
KONTEKS UNTUK MAKNA 1
|
KONTEKS UNTUK MAKNA 2
|
24.a. Dengan terpaksa, si Abu pergi juga kepasar dengan mengendarai sepeda
25.a. Untuk mendapatkan bisa ular yang akan dipakai sebagai penawar racun, tidak bisa tiak kita harus berburu ular di hutan
26.a. Karena berat dan tidak ada seoangpun yang membantu, karung beras itu akhirnya diseret perlahan-lahan oleh si anak kecil
|
24.b. Gunung di Gletser Eyjafjallajokull menyemburkan abu vulkanik (Gunung lain Berpoternsi Meletus (Republika))
25.b. Karena itu penyidik tidak bisa memaksakan pemeriksaan selesai dalam satu atau dua hari (Terima Piala, Susno Menangis (Jawa Pos))
26.b. Keluarnya dana dibuat seret sehingga para penyelenggara Pemilu tidak bisa melakukan persiapan optimal (Incumbent dan Dana Pilkada (Jawa Pos))
|
Dari data 24 da 25, kita dapat melihat fenomena terjadinya variasi makna
yang disebabkan karena Homonimi. Kata Abu yang bermakna nama orang mengalami
variasi makna ketika kata ini masuk kedalam konteks 24.b, yang dimaknai sebagai
partikel kecil sejenis tanah yang berterbangan karena proses meletusnya gunung
berapi. Demikian juga pada data 25.a, yaitu kata bisa yang berarti racun ular
mengalami variasi makna ketika berada dalam konteks 25.b. Dalam konteks 25b,
kata bisa, diartikan sebagai sebuah kemungkinan, atau kesanggupan untuk
melakukan sesuatu. Fenomena ini yan disebut Homonimi Homofon.
Berbeda dengan data 25 dan 26, pada data 27 terdapat variasi makna yang
disebabkan oleh berbedanya pengucapan dari kata seret. Pada data 27a, ata seret
dibaca [sêrêt] yang memiliki pengertian yaitu memindahkan sesuatu dengan cara
menariknya. Sedang pada kata seret dalam contoh 27b, yang dibaca seret, memiliki
makna sulit atau sukar untuk keluar. Fenomena in yang disebut Homonimi Homograf
E.12. Variasi Makna karena Polisemi
Polisemi lazim diartiakan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga
frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala dalam
bahasa Indonesia memiliki enam makna. Namun, makna–makna yang banyak dari
sebuah kata yang polisemi itu masih ada sangkutpautnya dengan makna asal,
karena dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut.
Adapun contoh variasi makna karena Polisemi adalah sebagai berikut:
KONTEKS UNTUK MAKNA 1
|
KONTEKS UNTUK MAKNA 2
|
27a. Meskipun memiliki anak sepuluh, pak Sutris tidak pernah kerepotan menguusi anak-anak kandungnya. Dengan berpedoman pada falsafah lama banyak anak banyak rejeki, dijalaninya kehidupannya dengan riang gembira
28.a Kepala beberapa polisi robek karena terkena lembaran batu dalam demonstrasi pada hari sabtu tersebut
|
27.b. “Kalau pimpinan memutuskan seperti itu, kita laksanakan. Saya kan anak buah,” elak Poltak. (Jaksa Gayus Dicopot (Jawa Pos))
28.b Sementara itu, kepala dinas pendidikan Kabupaten Bintan, Ismail, mengakui kalau pendidikan belum sampai menjangkau pulau Pejantan
|
Data 27 dan 28 merupakan contoh variasi makna arena polisemi. Pada data
tersebut terlihat, meskipun terdapat variasi makna, namun esensi dari variasi
terseut tetap sama, seperti anak kandung dengan anak buah, meskipun makna
secara umum berbeda namun secara esensi dua kata ini memiliki makna sama yaitu
turunan dari sesuatu, bisa berupa orang tua, maupun pimpinan di atasnya.
Demikian juga kata kepala dan kepala Dinas (28a dan 28b), meskipun memiliki
makna berbeda, namun makna intinya sama yaitu sesuatu yang berada di atas.
F. SIMPULAN
Dari paparan yang telah disampaikan di atas kita dapat menyimpulkan
beberapa hal antara lain:
- dalam tiga
surat kabar yang diteliti, dijumpai banyak sekali variasi makna atau yang
biasa disebut bahasa figuratif
- bahasa
figuratif yang dijumpai adalah: metafora, metonimi, personifikasi,
ameliorasi, peyorasi, spesialisasi, dan generalisasi
- Terdapat
juga variasi makna yang muncul karena memungut bahasa asing
- Fenomena
variasi makna kompleks dapat juga dijumpai pada salah satu dari ketiga
koran tersebut meskipun tidak banyak
- bahasa
figuratif yang paling banyak dijumpai adalah metafora
- dengan
ditemukannya banyak bukti keberadaan variasi makna di surat kabar, semakin
memperjelas pernyataan bahwa surat kabar adalah pabrik kata
- apa yang
dikatakan Wahab (1986) yang menyatakan banyak kata kasar dijumpai dalam
media massa adalah benar adanya.Kita dapat melihat contoh kata kasar ini
pada bagian peyorasi seperti kata meringkus, mencopot, melotot, digunakan
dalam surat kabar.
REFERENSI
Chaer, Abdul. 1989. Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Lyon, John. 1977. Semantics Volume I. Cambridge: Cambridge
University Press
Pradopo, Rahmat Djoko. 1994. Stilistika dalam Buletin Humaniora No.1
tahun 1994.Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
Shaw, Harry. 1972. Dictionary of Literary Terms. New York:
McGraw-Hill Book Co.
Sumarsono.2007. Pengantar Semantik. . Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suwandi, Sarwiji. 2008. Semantik: Pengantar Kajian Makna.Yogyakarta:
Media Perkasa
Wahab, Abdul. 1986. Kesemestaan Metafora Jawa. Malang: IKIP Malang
Verhaar, J.W.M. 2008. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
Artikel yang terkait: